Jumat, 22 Agustus 2008

KEMERDEKAAN: Jangan Hanya Simbol!!!

Dalam sebuah artikel The Etnology Of the Indian Achipelago yang terbit pada tahun 1850, seorang sekotlandia, adalah James Richardson Logan yang pertama kali menyebut kepulauan yang kita diami ini dengan sebutan Indonesia. Sedangkan diantara peribumi yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah Surwadi Suryaningrat, yang sering dikenal dengan sebutan Ki Hajar Diwantara.

Nama Indonesia pada mulanya hanya terkenal dikalangan para ilmuwan dibidang etnologi dan geografi saja, namun pada tahun 1920-an sejalan dengan berkembangnnya suhu politik dan kesadaran dari para anak bangsa, mereka menganggap pentingnya sebuah identitas diri sebuah negara. Maka mereka mulai menyebut kepulauan yang kita diami ini dengan Indonesia. Bung Hatta menegaskan: "negara Indonesia merdeka yang akan datang mustahil disebut 'Hindia Belanda'."

Akhirnya pada Tanggal 28 oktober 1928 para pemuda-pemudi Indonesia menyepakati nama "Indonesia" sebagai nama untuk tanah air, bangsa dan bahasa kita. Dalam sejarah, momentum tersebut dikenal dengan sumpah pemuda.

Pada tanggal 17 agustus 1945 lahirlah Republik Indonesia. Pada tiap tanggal tersebut, masyarakat dunia tahu bahwa rakyat Indonesia sedang merayakan pesta besar. Yaitu pesta memperingati kemerdekaan. Yang diperoleh tidak dengan tidur-tiduran dan malas-malasan, tapi dengan perjuangan gigih; tenaga, harta, pikiran. ”Memperingati” berarti “mengingat kembali” kejadian yang dulu pernah menimpa bangsa Indonesia.

Kemerdekaan adalah hak asasi manusia yang paling tinggi, dengan kemerdekaanlah eksistensi manusia menjadi nyata. Pun, kaitannya dengan kemerdekaan sebuah negara. Kedaulatan sebuah negara menjadi nyata ketika kemerdekaan sebuah negara didapat (diakui secara de facto dan de jure).

Peringatan kemerdekaan ini sering dirayakan dengan berbagai macam cara. Yang jelas dan pasti semuanya membutuhkan pengorbanan, yang paling tampak adalah pengorbanan harta demi terwujudnya sebuah ritual perayaan. Simbol-simbol kemerdekaan di pasang dihampir setiap rumah, tidak ada satupun jalan yang kosong dari simbol kemerdekaan. Bukan perayaan yang biasa-biasa, melainkan perayaan yang “WAH”, demi satu hal; memperingati kemerdekaan. Hampir disetiap juru desa, kampung, dan kota tampak pesta-pesta, bahkan seolah-olah saling bersaing ingin menunjukan bahwa hanya kelompoknya-lah yang terbaik. Sadarkah kita?, bahwa semua itu memerlukan pengorbanan harta yang tidak sedikit jumlahnya.

Amat nista sebuah prosesi agung menjadi sebuah prosesi sampah, ketika apa yang kita lakukan demi memperingati kemerdekaan hanya berujung pada gelak tawa, hura-hura, minum-minuman, main judi dan main sex.

Akan dibawa kemanakah pengorbanan harta dan tenaga kita demi sebuah ritual perayaan?. Betapa mubadzirnya!, andaikan pengorbanan demi sebuah ritual perayaan hilang tak berbekas, tidak ada makna yang bisa menjadi renungan tentang kemerdekaan yang lebih hakiki. Pada tataran ideal, perayaan kemerdekaan seharusnya menjadi renungan agar kita bisa mengisi kemerdekaan Republik Indonesia ini dengan tindakan konkrit, pada waktu-waktu mendatang.

 

Cermin Setiap Individu Bangsa

Kita memerlukan sebuah cermin untuk melihat penampilan kita. Apakah sudah rapih atau belum?. Begitupun untuk proses kehidupan yang dijalani, kita memerlukan cermin untuk tingkah laku, sikap dan perbuatan kita, agar semuanya dapat menjadi lebih baik. Pertanyaannya, bagaimana cara bercerminnya? Hanya satu caranya adalah mengingat ulang (introspeksi diri). Kita melist tingkah laku kita yang jelek dan tingkah laku kita yang baik. Juga melist keadaan kita yang buruk (yang tidak diinginkan) dan keadaan yang baik (yang diinginkan).

Dalam kontek kenegaraan, memperingati kemerdekaan berarti mengingat ulang kejadian yang telah lalu saat  rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Tidak hanya mengingat tanggal 17 agustus 1945 (when), namun mengingat siapa yang berjuang (who), apa yang diinginkan (what), kenapa (why) dan bagaimana mendapatkan kemerdekaan (how).

Proses (how) dan alasan (why) mendapatkan kemerdekaan –menurut hemat penulis- adalah dua hal yang paling pokok yang mesti diingat ulang oleh kita bangsa Indonesia. “Proses” akan mengajarkan kita betapa susah payahnya orang tua kita untuk mengambil hak kemerdekaan dari tangan orang lain. Dari hal itu, maka akan mengejawantah rasa patriotisme dalam arti rasa rela berkorban orang tua kita. “Proses” juga mengajarkan betapa sulitnya menyatukan visi setiap kepala anak bangsa demi meraih kemerdekaan, disinilah rasa nasonalisme dalam arti cinta kepada tanah air lebih dijunjung tinggi dan diutamakan dari pada ego golongan, etnis, ras, jabatan, dan keyakinan.

“Alasan” mengajarkan bahwa kemerdekaan adalah hak paling dasar manusia dengan tanpa kecuali. Ketika kemerdekaan kita di rampas oleh orang lain maka kewajiban kita –penulis lebih memilih menyebut hak- untuk mendapatkannya kembali.

Jelas, bahwa kemerdekaan adalah hak setiap manusia yang lahir termasuk setiap individu bangsa indonesia Dalam realitanya, apakah kemerdekaan sudah didapat oleh seluruh bangsa indonesia?, Ataukah kesenjangan -meminjam istilah Karl Mark- antara kaum proletar dengan kaum borjuis sudah bisa di kompromikan. Ataukah memang betul yang dikatakan Karl Mark, bahwa memang yang kuat (mutropin) harus menindas yang lemah (mustadh'afin) demi keberlangsungan sebuah negara?.

Kenyataan dilapangan, kaum papah bertongkat hanya bisa merintih dan berteriak meminta hak an sich. Sedangkan kaum kaya berpangkat hanya menjawabnya dengan bahasa komunikasi, bukan dengan bahasa aksi.

 

Pendidikan dan Kesadaran

Jelas bahwa simbol-simbol dan perayaan-perayaan untuk memperingati kemerdekaan mempunyai tujuan yang sangat mendasar, sekaligus mulia. Yaitu mengingatkan kepada seluruh komponen masyarakat agar merenungkan kembali dan mendalami tentang arti sebuah arti kemerdekaan. Berpijak dari pengalaman sejarah orang tua kita selama lebih dari 350 tahun dijajah oleh bangsa lain.

Setelah perenungan, maka kita harus mendapatkan pemahaman tentang arti sebuah kemerdekaan. Ingat! tidak berhenti sampai sana, kita perlu mengaktualkan pemahaman kita tentang sebuah kemerdekaan dalam sebuah sikap (bahasa aksi).

Realisasi sebuah tujuan mulia ini memang bukanlah hal yang mudah, namun bukan sebuah hal yang mustahil. Pendidikan adalah gerbang yang menganga lebar demi masuknya sebuah kesadaran tentang arti kemerdekaan yang sejati pada setiap jiwa rakyat indonesia. Tentunya bukan pendidikan yang dipolitisasi seperti jaman dahulu. Baik politisasi oleh pemerintah, lembaga pendidikan dan praktisi pendidikan; yang tiada lain yaitu para pendidik sendiri.

Dengan adanya pendidikan, semoga semua pihak sadar bahwa tiap orang yang lahir di muka bumi ini mempunyai hak untuk merdeka. Dengan “kesadaran”lah maka hak-hak kemerdekaan yang dilupakan oleh aturan hawa nafsu para "borjuis baru" akan diperjuangkan. Dengan kesadaran para pemimpin akan sesegara mungkin memberikan hak kemerdekaan bagi saudaranya yang sebangsa. Yang hak kemerdekaannya terlupakan karena sebuah kedekatan, kekeluargaan dan kemunafikan.

Kita semua tidak ingin melihat bangsa ini di tertawakan lagi oleh bangsa lain, seperti ditertawakannya dahulu oleh bangsa penjajah ketika melihat bangsa indonesia saling hantam satu sama lain. Ingat betapa patriotik (heroik) dan nasionalisnya orang tua kita demi sebuah kemerdekaan yang hakiki.

Semoga setiap individu bangsa ini -tanpa terkecuali- mendapatkan hak kemerdekaan yang hakiki. Dirgahayu Republik Indonesia...!!!

Tidak ada komentar: