Kamis, 24 Januari 2008

BAHASA: Sarana Harmonisasi.

Manusia adalah makhluk terunggul di alam raya ini. Malaikat, makhluk yang tidak pernah melakukan maksiat pun, “sujud” atas keistimewaan manusia –dalam hal ini direpresentasikan oleh Adam. Faktor yang bisa membuatnya menjadi the best yaitu kemampuan berbahasa (QS: 2,31). Dalam kajian biologi, manusia dikelompokan dengan hewan, vertebrata (hewan bertulang belakang), dan kemampuan berbahasalah yang menjadikan manusia lebih unggul dari hewan-hewan yang lain. Kitapun sering mendengar sebutan manusia dalam bahasa arab -dalam kajian mantiq- dengan sebutan hayawan natiq (binatang yang berbicara). Selaras dengan hal tersebut, menurut Socrates perbedaan mendasar antara manusia dan hewan adalah bahasa.

Di zaman yang sedang kita jalani ini, tiap orang seolah-oleh terframe untuk menanamkan dalam dirinya rasa skeptisisme radikal, dengan sebuah slogan besar; ”TIDAK ADA ORANG YANG DAPAT DIPERCAYA”. Kecurigaan terhadap the other(s) bak menjadi sebuah keniscayaan. Kalau tidak, maka diri sendiri yang akan menjadi korban (victim). Kita sering lihat berita di media elektronik bahwa banyak orang yang menjadi korban karena ”mulut manis” orang lain. Rasa ketidak percayaan ini menjadikan kegiatan berbahasa antara satu orang dengan yang lainnya menjadi tidak utuh, seolah-olah ada gap diantara mereka.

Pertanyaan mendasar adalah kenapa manusia berbahasa?. Jawabannya tentu karena mereka mempunyai “keinginan” untuk mengemukakan sesuatu agar bisa difahami orang lain. Sedangkan “keinginan” lahir dari sebuah fikir (rasa).

Dari sini, secara simpel dapat difahami bahwa bahasa adalah media aktualisasi fikir agar dapat di fahami orang lain. Kemudian muncul persoalan baru apakah bahasa bisa mengakafer seluruh maksud fikir?. Apa dengan utuh maksud fikir terwakili oleh bahasa (red: bahasa lisan)?.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering atau pernah menyampaikan maksud tertentu, tapi lawan bicara kita malah cuek bebek, sama sekali tidak memahami point yang kita maksud. Lebih repot, lawan bicara memahami maksud ucapan kita dengan salah (misunderstanding). Hal-hal seperti ini menjadikan komunikasi dan hubungan sosial menjadi kaku, bahkan menimbulkan permasalahan yang relatif tidak kecil; konflik keluarga, konflik antar desa, etnis, agama, bahkan antar negara. Perlu ditegaskan, bukan konflik sepele, namun konflik yang harus di tebus dengan tumpahan darah.

Secara fitrah, manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan berbahasa, wherever dan whenever. Ketika bahasa menjadi sosok yang digambarkan diatas, Betapa bahasa menjadi sedemikian mengungkung dan menelikung. Kita terus dihantui rasa takut; takut salah memahami dan difahami, takut terintimidasi dan mengintimidasi, juga rasa curiga; curiga atas apa yang ucapkan orang lain, curiga kita akan dicurigai. Kalau demikian, dengan eksisnya bahasa di setiap ruang dan waktu, masihkah mungkin kita akan menghirup udara kebebasan (dari ketakutan tadi)?

Bahasa sebagai UU

Kajian tentang bahasa merupakan diskursus klasik, namun masih tetap menarik dan kemungkinan besar -bahkan pasti- akan tetap survive selama ada penggunanya. Pembahasan mengenai bahasa secara teoritis sudah sangat banyak dan menjamur. Kajian tentang kebahasaan ini, melahirkan berbagai macam subdisiplin ilmu bahasa; kajian tentang aturan struktur bahasa dan pola pembentukan kata (sintaksis dan morfologi) yang lebih dikenal dengan grammar, kajian tentang uslub-uslub (gaya bahasa) supaya lebih ”nyastra”, ada juga sub yang mengkaji tentang asal-usul dan sejarah bahasa, dan sub-sub lainnya.

Semua sub disiplin ilmu bahasa tersebut menjadi sebuah aturan perundang-undangan bahasa. Secara sederhana ketika menyangkut istilah undang-undang (UU), mau tidak mau, kita akan dihadapkan terhadap pen-justifikasi-an; hitam dan putih, tidak ada abu-abu, merah atau jingga. Ketika seseorang melanggar UU, maka pasti ada konsekuensi logis; punishment. Pun bahasa, ketika aturan-aturan bahasa di anggap sebagai aturan yang tunggal dan absolut, tanpa melirik basic ultimate goal (tujuan dasar) dari berbahasa –yaitu interaksi harmonis antara komunikator dan komunikan-, maka yang terjadi adalah penghakiman antara yang satu dengan yang lainya. Ironisnya, yang menjadi hakim-nya adalah lawan bicara. Ketika terjadi kasusnya seperti ini, bukanlah komunikasi harmonis yang berlangsung tapi per-adu-an dua ego menjadi mesti. Dan yang menang, ditentukan oleh kekuatan otot bukan otak.

Secara teoritis, dalam bahasa ada yang dikenal dengan istilah madkhol­ (pandangan filosofis) dari penggunaan bahasa. Madkhol tersebut oleh para pakar di ramu dalam sebuah definisi tentang bahasa. Perbedaan madkhol pada setiap orang inilah -disadari ataupun tidak- membuat kegiatan berbahasa antara satu orang dengan yang lainya menjadi unharmonis.

Perlu diingat, perbedaan madkhol para pakar tersebut berdasarkan pendekatan disiplin ilmu yang mereka kaji. Untuk bisa memahaminya kita perlu mengetahui beberapa madhol bahasa.

Pertama, Ada yang memandang bahasa adalah sebuah ATURAN yang arbitrer (sesuai kesepakatan) dengan simbol-simbol tertentu. Kedua, Ada yang memandang bahasa adalah sebuah ATURAN yang arbitrer dengan simbol-simbol suara yang digunakan untuk melakukan pertukaran fikiran dan perasaan antara individu pada komunitas tertentu. ketiga, Ada yang membatasi bahwasanya bahasa adalah alat komunikasi secara tulisan dan lisan.

Semua definisi tidak salah, namun yang perlu diperhatikan teori bukan sebuah aturan yang absolut kebenarannya yang tidak kenal ruang dan waktu. Semua teori yang ada, sangat bergantung pada tempat dan waktu. Demikian dengan definisi-definisi para pakar, ketepatan teori tersebut tergantung pada ruang dan waktu. Nah, pada wilayah terapan, madhol-madhol melahirkan pandangan yang berbeda dalam penggunaan bahasa. Dari perbedaan madkhol-lah, para pakar merumuskan teori bahasa yang berbeda: ada yang dengan pendekatan tata bahasa, gaya bahasa (uslub), sejarah, sosial dan psikologi.

Kita semua tahu -secara praktek- kita melakukan kegiatan berbahasa dipengaruhi oleh lingkungan dimana kita tinggal. Kita tahu ada lingkungan yang dalam berbahasanya dengan nada keras seperti orang marah, ada juga yang lembut, ada juga seperti bertele-tele, ada juga to the point. Bahasa di lingkungan terminal, akan berbeda dengan di lingkungan pesantren, bahasa di daerah pantai akan berbeda dengan bahasa di daerah pegunungan.

Jelaslah, lingkungan yang membuat pandangan (madkhol) dalam berbahasa kita menjadi terbatasi, yang akan berbeda dengan kegiatan berbahasa di lingkungan lain.

Bahasa menjadi sedemikan formal dengan aturan-aturan sub disiplinnya masing-masing. Definisi-definisi diatas bagaimanapun berbeda antara yang satu dengan yang lain, namun ada satu persamaan mendasar; Tranmisi Pesan, atau lebih mudah kita sebut komunikasi.

Keterlibatan emosi

Seringkali dalam kegiatan berbahasa sehari-hari, komunikasi menjadi betapa kering, kaku, dan gersang. seolah-olah ada sebuah jurang curam antara komunitor dengan komunikan. Ya, memang faktor geografis, pendidikan, status sosial sangat berpengaruh terjadinya gap tersebut. Namun tidak jarang perbedaan-perbedaan tersebut sama sekali tidak berarti sedikit untuk terciptanya keharmonisan berkomunikasi.

Sekedar contoh, ketika ada pembeli (orang sunda) dan penjual (orang jawa). Pembeli bicara”mas beli gedang”, Andai penjual tadi menjawab karena bahasa formal pembeli yang ia sering gunakan dilingkungannya, maka kemungkinan besar dia akan cepat-cepat menyalahkan pembeli, dengan jawaban ”maaf ini bukan gedang, tapi pepaya”. Perlu diketahui, kata gedang di daerah jawa adalah nama untuk menyebut pisang (dalam bahasa indonesia). Apakah bahasa antara mereka sedemikian kaku? Jawabannya Tidak. Karena nyatanya walaupun salah -menurut si penjual, ia tahu bahwa yang di maksud gedang oleh pembelinya bukan gedang yang ia fahami; pisang. Tapi gedang yang ia jual; pepaya.

Selain dari perbedaan yang mencolok, sering kali yang menjadi terjadinya gap antara dua orang yang melakukan berbahasa adalah kondisi mental superior dan inferior. Ketika salah seseorang merasa dirinya lebih hebat maka dengan kondisi mental jiwa akan terefleksi rangkaian kata yang mengintimidasi, pun demikian ketika seseorang merasa dirinya lebih lemah, maka dia akan melakukan intimidasi terlebih dahulu sebagai ”penjagaan awal” ketakutan terhadap lawan bicaranya melakukan pengintimidasian. Atau dia akan merefleksikan dirinya lemah dengan statement-statement keinferioran.

Contoh sederhana, ada dua orang teman, yang satu mengambil nasi secukupnya, sedangkan yang lainya mengambil dengan porsi jumbo. Karena makan di satu meja, maka kontras sekali perbedaan porsi makan dua teman tadi. Si porsi jumbo langsung nyeletuk, “kok kamu makannya sedikit, enggak biasanya?”. Padahal makan bareng bukan kali yang pertama, dan ungkapan tadi bukan yang pertama juga tentunya. Rasa diri lebih rendah akan menimbulkan ungkapan pembelaan sebelum temannya mengintimidasi –bahkan ketika lawannya tidak berbuat apa-apa.

Bandingkan dengan kasus berikut; Seorang anak menginginkan sepatu baru, karena sepatunya sudah ruksak. Si ibu dengan serta merta faham akan kebutuhan anaknya tanpa dipinta. Dalam kasus ini, pengaktualan keinginan si anak akan sepatu baru sama sekali tidak perlu diungkapkan dengan bahasa lisan. Atau ketika seorang guru yang sayang pada murid, haruskah si guru menyatakan rasa sayangnya dengan kata-kata?. Disini kita melihat ada bahasa yang memang tidak mengungkung, dimana si anak atau si guru tidak perlu mengaktualkan maksud fikirnya dengan kata-kata ”bu beliin sepatu baru dong!” atau ”aku sayang kamu muridku!”. Jelas, Tidak perlu.

Dari gambaran diatas, terdapat satu elemen yang mengantarkan kegiatan berbahasa sedemikian dapat difahami oleh the other(s). Yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu, entis, atau bahkan tidak dibatasi oleh kata-kata yang tersusun diantara A sampai Z. Keterlibatan emosi merupakan unsur penting yang sering kita abaikan. Selaras dengan definisi yang dilontarkan para psikologis, bahasa adalah isyarat-isyarat untuk mengaktualkan keadaan perasaan. Rasa dijadikan dasar dalam komunikasi.

Komarudin Hidayat dalam ”Menafsirkan Kehendak Tuhan” membagi unsur bahasa dalam tiga elemen; bahasa, pikiran, dan emosi. Ketika salah satu elemen hilang dalam kegiatan berbahasa -terkhusus ketika daily interaction- maka tidak akan ditemukan apa pun, kecuali comunication gap (kesenjangan komunikasi).

Kembali ke Basic

Untuk mendapatkan keharmonisan berbahasa terkhusus dalam kegiatan sehari-hari ada beberapa point yang harus di perhatikan dan sekaligus dilakukan; pertama, melibatkan elemen emosi adalah sebuah sebuah kemestian, jangan biarkan kita terkungkung oleh formalisasi kata-kata dan aturan-aturan akademis bahasa, karena tujuan mendasar dalam berbahasa adalah saling memahami. Kalau hanya terbatas pada otak, maka mau tidak mau, setiap orang akan berbeda dalam pengaktualan bahasa yang diinginkan. Dan akan berbeda memahami sesuai dengan tingkat intelektualitasnya. Kedua menghidupkan rasa egaliter antara kita dengan lawan bicara. Ketiga jangan terjebak dengan kecurigaan berlebih terhadap orang lain.

Kita harus ingat, tujuan dasar berbahasa adalah komunikatif antara kita dengan orang lain. Dengan mengingat dan memperhatikan tujuan dasar tersebut mari kita bersama-sama temukan keharmonisan diantara kita dan lingkungan dimana kita berbahasa, sehingga terwujud keharmonisan sosial. Dan akhirnya, kapanpun dan dimanapun kedamaian akan bersama kita. Semoga...!

REFLEKSI; Metode Sukses dalam Pembelajaran


Kita pernah mendengar hadits yang artinya: Tafakur satu detik lebih baik dari pada ibadah enam ribu tahun”. Betapa mendalam dan filosofisnya hadits diatas. Banyak pertanyaan yang akan menghantui pikiran kita; apa yang bisa didapat dengan tafakur hanya satu detik?, bagaimana bisa proses yang instan dan sebentar bisa dibandingkan (lebih baik) dengan (dari pada) proses yang memerlukan perjuangan tenaga dan harta dalam kurun yang lama?.

Dalam kajian kebahasaan kita mengenal pernyataan yang berbentuk perbandingan. Sudah menjadi rumusan tetap, bahwa harus ada dua variabel pokok untuk terjadinya sebuah perbandingan, yaitu; yang dibandingkan yaitu tafakkur dan pembanding yaitu ‘ibadah.

Menimbang Tafakkur dan Ibadah

Penulis merasa yakin bahwa kita sering mendengar term tafakur. Penulis sangat yakin bahwa term ini bukan sesuatu yang asing seperti asingnya remaja islam dengan budaya dan khazanah keislaman, atau asingnya generasi muda kita dengan para cendikiawan muslim, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Rusydi dan yang lainya.

“Tafakkur” diambil dari bahasa arab yang berbentuk masdar (kata kerja yang dibendakan: gerund). Kata yang paling dasar untuk membuat kata “tafakkur” adalah fa-ka-ro, yang mempunyai arti berfikir. Sedangkan tafakkkur adalah derivasi dari kata kerja yang sudah mendapat tambahan (tsulatsi maziid) yiatu ta-fak-ka-ro yang mengandung makna pengulangan. Secara sederhana, tafakkur sama dengan berfikir yang berulang-ulang. Berfikir yang berulang-ulang akan terjadi hanya jika berfikir itu dilakukan secara serius dan mendalam.

Kata “Ibadah” pun, adalah bentuk masdar dari kata dasar ’a-bu-da yang artinya penghambaan. Dari bentuk dasar yang sama, kita akan menemukan kata ’abiid (budak: manusia yang dijual belikan). Perbudakan adalah budaya arab zaman dulu sebelum ajaran islam membumi di jazirah arab. Seorang budak dia harus mematuhi apa yang inginkan oleh pemiliknya. Bahkan seandainya dipinta nyawa dan kehormatannya pun dia harus memberikan. Karena segala yang dia miliki –termasuk kemanusiaannya- sudah ditukarkan dengan sejumlah uang.

Dalam hubungan manusia dengan Allah, manusia adalah budak sedangkan Allah adalah Tuan (pemilik). Semua yang dianggap milik kita, sama sekali hanyalah fatamorgana. Harta kita tidak bisa membeli satu nyawapun. Kepintaran kita tidak bisa mengubah satu takdirpun. Kita sama sekali tidak bisa tawar menawar dengan kekuasaannya Allah.

Dalam Q.S: Adz-Dzariat ayat 56, ditegaskan bahwa tujuan diciptakan manusia adalah untuk beribadah. Ibadah secara sempit diartikan sebuah ritual (tata cara) untuk menyatakan kepasrahan kepada Allah, seperti shalat, puasa, haji dan semacamnya.

Ibadah dalam arti luas berarti setiap bentuk tindakan yang ditujukan untuk (karena) Allah berdasarkan norma-normanya. Disini! Tidak hanya terbatas pada ritual harian, mingguan, dan tahunan.

Ada dua hal yang dapat kita akan fahami dari statement hadits diatas. Pertama Tafakkur lebih baik dari pada ibadah. Kedua satu detik lebih baik dari pada seribu tahun.

Untuk point kedua kita tidak perlu menganalisa terlalu dalam. Karena penggunaan waktu dalam statement diatas adalah sebuah penegasan tentang keunggulan “tafakkur” dari pada “ibadah”.

Sekali lagi, tafakkur bukan sekedar berpikir, tapi berfikir secara serius dan mendalam. ”Serius” adanya kesengajaan untuk berfikir, sedangkan ”mendalam” adanya tujuan dan target dalam berfikir. Tegasnya kita bisa merumuskan bahwa tafakkur meliputi empat kriteria, yaitu; pertama adanya kesengajangan dalam berfikir tentang sesuatu (yang lalu), kedua proses penilaian (saat ini), ketiga pengoreksian (saat ini), keempat penentuan sikap diwujudkan dalam perencanaan-perencanaan pribadi (waktu yang akan datang).

Seseorang yang sholat tiap hari tanpa melakukan tafakkur tentang keadaan sholatnya, maka kualitas sholatnya tidak akan meningkat. Sebaliknya, jika seseorang yang bisa mentafakkuri sholatnya, dia akan bisa menilai sejauhmana kekurangannya, agar bisa diperbaiki baik kualitas maupun kuantitas.

Dalam konteks proses pembelajaran, seorang guru harus mentafakkuri pengajarannya dalam segala aspek; -metodologi, persiapan pengajaran, penguasaan materi pengajaran, pengembangan diri dalam pengajaran dan yang lainnya. Ketika tafakkur ini dilakukan dengan benar maka peningkatan kualitas pengajarannya adalah sebuah hal yang niscaya. Pada akhirnya seorang guru yang demikian dia akan mampu menjadi sosok yang patut digugu dan ditiru.

Selain melakukan tafakkur tentang pengajarannya sendiri, seorang guru seyogyanya mengajak dan mengarahkan muridnya agar mereka melakukan tafakkur. Tentunya pentafakkuran tentang proses belajarnya.

Saat ini, murid bukan lagi sebagai objek pengajaran, tapi murid adalah partner guru dalam belajar. Oleh karenanya kesuksesan pembelajaran tidak akan terwujud jika kita masih mendekap konsep teacher centris (guru adalah orang yang serba segalanya). Dengan selogan yang sering kita dekap erat-erat bahwa dalam mengajar ada dua aturan: aturan pertama, guru tidak pernah salah, aturan kedua, jika guru salah kembali ke aturan pertama.

Dari sini, tafakkur menjadi sebuah hal mesti dilakukan bersama-sama oleh guru dan murid untuk tercapainya kesuksesan pebelajaran. Karena tafakkur tidak hanya sebatas evaluasi tapi juga pengoreksian dan pembetulan yang dan diakhiri oleh pemetaan sebuah perencanaan pembelajaran yang ideal secara matang.

Refleksi: Peningkatan Kualitas

Pesan yang dikandungnya hadits diatas bukan pemberian ruang kepada kita untuk berleha-leha dalam beribadah. Kita tidak bisa menggunakan gaya berfikir bahwa “Cukuplah ibadah hanya dengan tafakur, tidak perlu sholat, zakat, puasa dan ibadah yang lainnya”. Namun hadits diatas menegaskan bahwa keistiewaan tafakkur adalah bisa meningkatkan kualitas ibadah. Sedangkan ibadah adalah aktivitas yang dilakukan oleh hamba (manusia) demi Tuannya (Allah). Jelasnya, tafakkur adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas kerja.

Terakhir, dengan melihat kriteria-kriteria tafakkur, maka menurut hemat penulis tafakkur -dalam terminologi lain- adalah refleksi.

Semoga setiap satu orang dari kita bisa meningkatkan kualitas amal! Aaamiin...!

Wallahu ’Alam bis-showab.